Mengenal Negative Labeling, cara menegur tidak efektif dan bahayanya bagi perkembangan mental anak

labeling pada anak

“Cepetan dong nak, lelet banget sih”

“Gantian mainannya, jangan pelit sama teman”

“Kok cengeng banget jadi anak laki, bentar-bentar nangis ”

“Penakut banget, ga apa-apa ini gelap cuma mati lampu aja”

 

Kata-kata seperti diatas rasanya biasa banget ya kita dengar, enggak cuma dengar saja. Bahkan sayapun kadang juga jadi pelakunya. Kalimat-kalimat seperti diatas kadang secara enggak sadar keluar dari mulut saya saat tingkah anak lagi menguji kesabaran, atau saat mood dan emosi saya lagi enggak stabil.

Lelet, pelit, cengeng, nakal, malas, ngeyel, dan penakut. Dulu saya menganggap kata-kata seperti ini biasa buat anak dan boleh saja dilakukan. Sudah hal yang lumrah. Saya dulu waktu kecil juga sering disebut begitu, enggak selalu oleh orangtua. Kadang yang menyebut itu dari lingkungan seperti tetangga, teman, atau bahkan guru.

Sampai kemudian saya juga jadi orangtua lalu belajar mengenai parenting. Ada istilah baru yang kemudian saya tahu yaitu Negative Labeling. Negative Labeling itu apa? Saya tuliskan lagi satu contohnya ya:

“Gantian mainannya, jangan PELIT sama teman”

Kalimat diatas adalah contoh perilaku labeling dari orangtua ke anak. Yaitu mengungkapkan suatu kalimat ke anak dengan menyematkan kata sifat tertentu yang biasanya bertujuan untuk menegur. Kata yang disematkan dari contoh ini adalah PELIT.

Memangnya kenapa kalau menegur dengan cara begitu ? Kalau enggak ditegur nanti anaknya enggak bisa belajar tentang berbagi dong. Betul  saya setuju, tapi apa enggak sebaiknya  cara menegurnya  sedikit diubah? tanpa menggunakan kata PELIT misalnya. Kata Lelet, pelit, cengeng, nakal, malas, ngeyel ini jika sering didengar anak saat orangtua menegur, lama-lama akan membentuk suatu label negative dalam diri anak. Dan label negative ini sangat tidak baik untuk perkembangan mental anak nantinya.

Dampak buruk Negative Labeling pada anak

Menurut Dra.Herlina,Psi, Labeling dapat memberi dampak buruk pada tumbuh kembang anak melalui melalui 3 cara, salah satunya melalui  self-Labeling yang ia terima secara berulang-ulang dari lingkungannya.

Misalnya jika anak sering mendengar kata “bandel” saat ditegur,  anak maka lama-lama dalam diri anak akan terbentuk konsep bahwa ia memang anak yang bandel. Lalu karena sudah terbentuk konsep negative “bandel” dalam dirinya, anak akan mulai menampilkan perilaku-perilaku yang mencerminkan konsep dirinya tersebut. Yang tadinya mungkin perilakunya masih wajar, lama-lama anak akan sering tidak menurut dan membangkang. Sikap membangkang ini adalah  cerminan dari negative labeling yang sering diterima tadi.

Dan negative labeling ini juga pernah saya alami dulu , begini kira-kira ceritanya:

Waktu kecil dulu saya punya julukan si Cungkring karena badan saya sangat kurus. Postur tubuh terlalu kurus ini terus saya miliki hingga dewasa.  Dengan tinggi 150 cm, berat badan saya hanya kisaran 37-40kg  saat itu.Berat badan yang tidak ideal dan tergolong kurang gizi ini sering membuat saya sakit-sakitan.

Bertahun-tahun kemudian saat saya mengenal tentang negative labeling dan dampaknya pada pembentukan konsep diri. Saya menyadari bahwa badan kurus saya ini bukan bawaan lahir, tapi karena saya makannya terlalu sedikit. Dulu, sekali makan saya cukup dengan 1 centong nasi saja. Saya enggak mau makan banyak karena selain dijuluki si cungkring, saya juga sering dibilang “dasarnya kurus mau makan sebanyak apa juga ga akan gemuk”.

Nah labeling “dasarnya kurus” ini yang akhirnya membentuk konsep dipikiran saya bahwa “percuma mau makan sebanyak apa juga bakal tetap kurus”.  Akhirnya saya tidak pernah berusaha makan lebih banyak lalu jadi kurus dan jadi sakit-sakitan.

Kalau dulu saya tidak mendapat label Cungkring dan “dasarnya kurus” mungkin badan saya bisa selalu sehat, seperti sekarang ini. Sekarang saya sudah membuang label kurus tersebut, selalu berusaha makan banyak dan efeknya badan saya lebih sehat.

Ini hanya label tentang body shaming saja saja. Bayangkan jika label negative lain seperti nakal, malas, lelet, penakut sering kita lontarkan dan didengar anak. Akan berdampak seperti apa pada konsep diri dan kepribadian anak nantinya?

Cara menegur yang baik tanpa me-labeli anak

Dalam buku Enlightening Parenting, salah satu cara yang bisa orangtua gunakan untuk menegur anak secara efektif tanpa memberi negative labeling adalah dengan menegur perilakunya bukan pribadinya.

Contohnya begini, ibu dan anak sedang buru-buru mau berangkat ke sekolah dan kerja. Ibu sudah siap pergi tapi anak masih sibuk memakai sepatu, karena takut telat si ibu jadi was-was. Emosinya mulai naik melihat anak yang pakai sepatunya lama, mulut sudah gatal rasanya ingin menegur. Maka agar tegurannya ini efektif, lakukan dengan kalimat berikut:

“Nak pakai sepatunya masih lama? Bisa cepat sedikit nanti kita bisa telat”

Kalimatnya agak panjang dan enggak to the point memberi teguran.

Tapi ini jauh lebih baik dibanding kita menegur dengan kalimat:

Nak kok kamu lelet amat pakai sepatunya, bisa telat kita nih”

Apa yang berbeda dari dua kalimat diatas? kalimat pertama fokus menegur perilaku anak yang lama saat memakai sepatu. Sedangkan kalimat kedua justru menegur dan me-labeli kepribadian anak yaitu lelet.

Cara mengasuh yang salah dan sudah lumrah memang sulit diubah, tapi bukan berarti tidak bisa betul-betul kita tinggalkan dan benahi. Saya sendiri juga masih berjuang untuk mengubah kebiasaan menegur dengan me-labeli ini. Tapi dengan berusaha selalu mengingat dampak yang akan anak dapat kedepannya dari kebiasaan labeling ini, insya Allah bisa terus memacu semangat saya untuk mengubah pola asuh. Semoga tulisan ini juga bisa jadi pengingat bagi teman-teman sesama orangtua ya, terutama orangtua muda seperti saya yang masih perlu banyak belajar.

Semangat

Salam

Titik Wihayanti

 

Referensi:

1.Labeling dan perkembangan anak oleh Dra.Herlina,Psi. Diakses tanggal 25 Maret 2020. Link : http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI/196605162000122-HERLINA/LABELING_DAN_PERKEMBANGAN_ANAK-salman.pdf

2. Buku The Secret of Enlightening Parenting karya Okina Fitriani, M.Psi dkk.

 

 

37 thoughts on “Mengenal Negative Labeling, cara menegur tidak efektif dan bahayanya bagi perkembangan mental anak

  1. Masyaallah… Ulasan yang mantap sekali ini. Meski sulit merubah diri dari kebiasaan melabeli ini, sebagai orang tua, tetap harus berusaha berubah lebih baik. Benarlah perkataan itu doa. Makanya harus selalu berkata baik. Semoga saya mampu memperbaiki kebiasaan buruk ini. Sungguh, hanyan kebaikan saja yang saya inginkan untuk anak2 saya.

  2. Haduuhh bener banget, saya paling hati2 sekali kalau mau “marah” sama anak jangan sampai mengeluarkan kata2 yg melabeli anak seperti itu. Yang sebel kalau ortu’y sudah jaga mulut supaya perasaan anak ttep terjaga, orang lain yg tau2 ngomong sambil melabeli anak -.-

  3. Kadang suka engga sadar tuh kita marahin anak seperti itu. Duuh…harus istighfar dan minta maaf ke anak. Memang engga boleh sih ya negative labeling ke anak, nanti jadi beneran negative. Makasih remindernya…

  4. Hai Titik…iyess bener. Buruknya label-label semacam itu parahnya kadang nggak disadarin apalagi kalau emak udah lelah hayati…padahal ini bener-bener lasih efek nggak baik buat anak-anak yaa…

  5. Agar terhindari dari negative labeling ini, setiap berbicara dengan anak, saya selalu mengolah dulu di otak saya agar menjadi kalimat yang positif. Memang butuh extra effort sih, tapi gapapa, demi kebaikan anak. Nah, masalahnya adalah ketika berada di luar rumah, ketemu dengan orang/keluarga lain, tiba-tiba anak saya rewel. Saat itulah kadang-kadang muncul kalimat negatif dari orang lain tersebut. 😀

    1. Kalau ala saya, misal anak dilabeling negative sama lingkungan sekitar, saat di rumah saya sounding mba, saya sounding dengan kalimat-kalimat yang positif buat block kata2 negative dr lingkungan tadi

  6. Wah, iya mbak. Kadang sebagai orangtua nggak mau ya kasih label negatif, tapi suka terlontar di sela-sela aktivitas yang waktunya mepet misalnya. Pas udah kejadian menyesal, tapi suka kejadian lagi keceplos begitu. Moga-moga jadi semakin aware ya dengan negative labeling ini

  7. huhu paling sedih kalau ada orang tua yang melabelin anaknya negatif. naudzubillah, jgn smp kita jadi pelakunya. mana ucapan ibu kan doa, banyak2 istigfar. terima kasih remindernya mbak titik

  8. Kalo saya dulu sering dilabeli pemalas, eh beneran jadi melabeli diri sendiri juga. Sejak kecil saya jadi terbiasa bilang, “aku mah malas”
    Negative labelling ternyata berbahaya banget

  9. Saya akui masih sering keceplosan. Apalagi kalau lagi diburu waktu. Harus berusaha bersabar lagi, dan mengatur isi pembicaraan dengan anak, jangan sampai memberi label negatif.

  10. Negative labeling begitu berdampak pada perkembangan anak ya, Mbak. Reminder buat saya ini. Terima kasih sudah mengingatkan. Menegur meski dnegan kalimat agak panjang akan lebih aman bagi psikis mereka yaa

    1. Betul Mba Dian, Kalimat yang lebih “”repot” sedikit tapi dampaknya baik buat perkembangan psikis anak hehe

  11. Ini benar, negative labeling pernah kita lontarkan kepada anak saat mood kita sedang tidak baik, walaupun sudah sewaras apapun kita, tetap saja terkadang kita lupa diri. Banyak-banyak istighfar kalau sudah kesal banget dah.

  12. Sebuah tantangan yang harus dilakukan. Negatif labelling masih kerap terjadi disekitar kita ya mbak. Sedihnya anak-anak yang terkena negatif labelling itu tidak hanya mengecilkan mental tapi juga bisa mewarisi cara mendidik nantinya.

    1. Betul mba, oleh karenanya sebaiknya cara didik yang salah ini diputus mata rantainya melalui kita ya mba.

  13. Klo di sosiologi, labelling itu bisa mendorong seorang individu untuk berbuat menyimpang.
    Makanya nggak boleh melabeli orang lain, terutama pada anak

  14. Saya juga masih suka kelepasan ngasih negative label sama anak, mbak apalagi kalau dia makannya lambat banget sama mulai cengeng. Padahal negative labelling ini bisa mempengaruhi psikologi anak ya ternyata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *